Foto: Agung Pambudhy
Dalam Kongres Montessori-Internasional pada 1937 di Kopenhagen, Dr. Maria Montessori menamakan anak "anggota masjarakat jang terlupa". Kalimat ini saya dapati di buku Pengantar di dalam Praktik Pengadjaran dan Pendidikan(1960) karya Crijns dan Reksosiswojo. Untuk menyebut anak-anak dalam kebijakan pembangunan memang terasa mustahil. Anak memang tak terlalu spesifik disinggung dalam perbincangan dan kebijakan pemerintah. Tak salah bila Montessori menyebut anak-anak adalah anggota masyarakat yang terlupa atau lebih tepatnya dilupakan.
Hak dasar anak seperti hak hidup maupun memperoleh pendidikan belum sepenuhnya mendapat perhatian cukup. Problem kemiskinan, masalah konflik keluarga, hingga kejamnya jalan raya menjadi sebab paling sering hilangnya nyawa mereka. Belum lagi tingginya angka kematian ibu dan anak. Ada sekitar 20.000 perempuan meninggal akibat komplikasi melahirkan setiap tahunnya. Kasus ini menunjukkan bahwa urusan menyelamatkan anak-anak yang hendak lahir di muka bumi masih terkendala banyak hal. Untuk rujuk ke rumah sakit saja terkadang orangtua masih berpikir panjang bukan hanya karena kendala biaya, tapi juga belum terciptanya kesadaran akan pentingnya menjaga bayi hingga mereka dewasa kelak.
Nyawa seorang anak di Indonesia menjadi begitu murah. Begitu mudahnya anak-anak meregang nyawanya akibat kekerasan yang dilakukan orang dewasa. Belum lama ini, Wakidah alias Ida (30) tahun warga Boyolali, diduga menyiksa anaknya sendiri hingga tewas (19/7/2019). Kasus Ida hanya satu kasus dari ribuan kasus di Indonesia. Dari motif kemiskinan hingga motif terorisme seperti ledakan bom. Dari amarah orangtuanya, hingga problem biaya pengobatan. Banyak pula kasus kekerasan anak yang anehnya terjadi di dunia pendidikan terutama sekolah. Guru, Kepala Sekolah, orang yang seharusnya jadi kawan dan pelindung mereka, namun ironisnya justru jadi pelaku kekerasan terhadap mereka. KPAI melansir angka kekerasan terhadap anak di dunia pendidikan mengalami peningkatan pada tahun ini.
Menabur Optimisme
Di tengah banyak kasus kekerasan pada anak, kita juga mendapati kabar gembira atas apa yang dicapai anak-anak kita. Anak-anak Indonesia telah memulai teladan bagi kaum dewasa. Mereka memperoleh banyak medali dalam olimpiade dunia. Orang-orang di seluruh jagat raya pun menoleh kepada anak-anak Indonesia.
Di tengah berita buruk tentang nasib mereka, ada secuil anak yang menyalakan terang dan cahaya. Di saat melihat fenomena ini, kita jadi ingat apa kata Pablo Picasso, "Setiap anak adalah seorang seniman. Masalahnya adalah bagaimana tetap menjadi seorang seniman, ketika kita tumbuh dewasa." Inilah tantangan dunia pendidikan kita, menjaga agar anak-anak kita tetap berprestasi sampai dewasa kelak.
Pendidikan tingkat taman kanak-kanak maupun tingkat dasar sebenarnya telah mendapat perhatian serius pada satu dekade terakhir. Swasta, utamanya telah mendesain pendidikan tingkat dini dan dasar menjadi pendidikan yang bermutu. Masyarakat pun diberi pilihan cukup banyak dengan beragam jenis pendidikan tingkat dini dan dasar bagi anak-anak mereka. Perbaikan pendidikan di tingkat dasar ini dimotivasi oleh minimnya pendidikan yang mempedulikan masa-masa anak-anak kita. Di masa kecil itulah, pendidikan menjadi sangat mudah masuk ketimbang ketika mereka telah dewasa. Tuntutan lain adalah tuntutan perkembangan zaman yang menuntut anak-anak dibekali pendidikan karakter yang semakin langka diperhatikan.
Tetapi, bila kita tilik lebih jauh, ada catatan menarik kalau melihat pendidikan dasar anak-anak kita. Anak-anak kita tetap dibekali materi pendidikan yang setumpuk. Sehingga mereka seolah dituntut untuk menguasai beragam materi yang berjubel. Singkat kata, mereka dididik menjadi terlampau intelektualistis. Ki Hajar Dewantara menolak keras pendidikan dasar anak yang terlampau intelektualistis, dan lebih memilih pendidikan dasar dengan sentuhan seni, sastra, dan budaya. Sehingga anak-anak menjadi halus budinya, memiliki sopan santun, dan adab yang tinggi.
Mendidik anak-anak kita dengan pendidikan terbaik adalah bagian dari cara untuk menyelamatkan generasi mereka ke depan. Pendidikan tetap menjadi jalan terbaik untuk memutus mata rantai kekerasan kepada anak. Orangtua yang berpendidikan akan cenderung menyayangi anak-anak mereka, mendidik dengan penuh kasih. Sebaliknya, orangtua yang berpendidikan rendah cenderung menjadi pelaku kekerasan pada anak-anak.
Masa depan anak-anak pada akhirnya tak bisa dilepaskan dari tanggung jawab kita, orang dewasa. Dari segi pendidikan, kita dituntut untuk memberikan pendidikan terbaik untuk anak-anak kita. Sedangkan dari sisi legislasi, pemerintah didesak untuk segera mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Sebab dari catatan KPAI pada 2018 ada 115 kasus kekerasan seksual menimpa anak-anak kita. Tanpa perlindungan hukum yang kuat akan semakin banyak korban berjatuhan. Pelaku kekerasan pada anak pun merasa bebas karena tak ada aturan hukum yang menjerat mereka.
Hari Anak Nasional 2019 menjadi pengingat akan pesimisme dan optimisme. Kita masih menyimpan sejumput harapan bagi anak-anak kita. Di tengah banyaknya korban kekerasan pada anak, kita diajak untuk selalu optimistis dan yakin bahwa masa depan mereka akan menjadi jauh lebih cemerlang.
sumber: https://news.detik.com/kolom/d-4634656/anak-kekalahan-dan-harapan?_ga=2.223607067.127389697.1569987019-1615553940.1569413730