Teknologi (Bukan) Solusi Masalah Pendidikan

Teknologi (Bukan) Solusi Masalah PendidikanFoto: Istimewa
Di Indonesia telah bermunculan beberapa perusahaan yang menjajakan dagangan teknologi khusus pendidikan, baik yang berasal dari dalam maupun luar negeri. Misalnya, ada satu start-up lokal yang rajin sekali menghiasi layar kaca televisi kita. Jika diperhatikan, kesemua perusahaan tersebut mengampanyekan solusi dari problematika pendidikan di Indonesia adalah teknologi.

Carut-marutnya pendidikan nasional kita memang sedang di ambang kritis. Masalah-masalah seperti posisi paling buncit di pemeringkatan literasi dan matematika siswa, kuantitas dan kualitas guru yang tidak merata penyebarannya di daerah, dan inisiasi kebijakan yang niatnya baik tapi sasarannya sering salah, serta banyak lagi membuat pendidikan Indonesia memang perlu melakukan terobosan.

Pertanyaannya kemudian, "Apakah teknologi solusinya?"


Justifikasi dan Kepercayaan

Banyak tokoh nasional dan tentunya pengusaha teknologi yang gemar menggembar-gemborkan isu Revolusi Industri 4.0. Ini menjadi hype, sensasi, yang kemudian didukung banyak media arus utama. Klaim utamanya: zaman makin canggih dan umat manusia harus mengikutinya agar tidak tertinggal; maka teknologi adalah keniscayaan.

Bagi dunia pendidikan, ada dua unsur utama yang mendorong teknologi digital masuk ke pendidikan, yaitu dorongan eksternal dan dorongan internal. Dorongan eksternal yang menjustifikasi penggunaan teknologi dalam pendidikan bersifat top-down, dari atas ke bawah. Dorongan ini berasal dari aktor-aktor di luar pendidikan (pemerintah, industri) yang percaya bahwa teknologi "baik" untuk pendidikan.

Sayangnya, dorongan ini sangat dominan. Profesor Neil Selwyn, sosiolog pendidikan dari Monash University menjelaskan bahwa banyak negara telah dengan sangat terperinci merumuskan strategi kebijakan penggunaan teknologi informasi dan komunikasi dalam proses belajar-mengajar. Para aktor tersebut melihat anak-anak zaman sekarang adalah pribumi kampung digital (digital natives) yang seluruh aspek hidupnya tak lepas dari teknologi digital dan oleh karenanya harus dididik dengan teknologi.

Sedangkan dorongan internal yang sifatnya bottom-up, dari bawah ke atas, datang dari pelaku pendidikan, seperti peneliti, guru, siswa dan, bahkan, institusi pendidikan. Dorongan ini dilandasi pada beberapa kepercayaan. Sebagai contoh, teknologi dapat meningkatkan kemampuan kognitif manusia. Ini sering dikaitkan dengan teori constructivist di mana pembelajaran terjadi dalam situasi yang kolaboratif dan suportif.

Bagi siswa, dengan teknologi digital mereka bisa mendapatkan materi belajar dengan mudah, tak terbatas, dan kadang gratis. Juga, teknologi membantu guru dalam meningkatkan profesionalisme mereka --seperti diskusi dengan guru lain dan saling berbagi bahan ajar secara online-- dan menuntaskan hal-hal yang sifatnya prosedural dan birokratis.

Sekolah dan universitas juga melihat teknologi dapat membangun citra modern sebuah institusi. Misalnya, teknologi dapat mengefisiensikan bisnis proses dalam mengoperasikan usaha mereka.

Pandangan-pandangan tersebut --yang sebenarnya masih terbuka untuk diperdebatkan-- menjadi alasan internal kependidikan menggunakan teknologi di ruang kelas. Nyatanya, dua pendorong ini saling berkelindan dan memantapkan penerapan teknologi pendidikan.

Sangat Kompleks

Pengarusutamaan digital menjadi satu dari enam poin utama dalam dokumen Pembangunan Nasional 2020-2024. Secara khusus, penerapan pendidikan jarak jauh (distance education) dan pembelajaran daring (online learning) akan diperkuat lagi guna meningkatkan mutu pendidikan nasional.

Fenomena kebijakan ini sedikit-banyak dipengaruhi oleh peningkatan eksponensial akan kegiatan ekonomi berbasis teknologi. Di Tanah Air, bisnis perusahaan rintisan menjadi primadona baru dalam berbelanja dan bepergian. Tercatat, ada empat start-up ritel dan transportasi telah menyandang status unicorn dan decacorn. Penerapan teknologi digital terasa sangat membantu.

Selain pemerintah pusat yang melakukan pengembangan teknologi pendidikan di Pusat Teknologi Informasi dan Komunikasi Pendidikan dan Kebudayaan, lebih dari 30 pemerintah provinsi juga telah bekerja sama dengan sebuah start-up pendidikan swasta untuk mengembangkan sistem manajemen pembelajaran di sekolah-sekolah.

Strategi ini membutuhkan ongkos yang sangat besar untuk memastikan ketersediaan komputer bagi semua siswa dan guru, pendidikan dan pelatihan bagi pendidik dan tenaga kependidikan, beserta penyesuaian kurikulum. Akhirnya, seperti kata Neil Selwyn, teknologi menjadi pusat dari pendidikan yang sering kali tidak mengindahkan kondisi sosial dan ekonomi negara.

Berbagai literatur menunjukkan penerapan teknologi dalam pendidikan harus melalui dasar pemikiran akan hubungan antara siswa, ilmu pengetahuan, guru, orangtua, dan institusi pendidikan. Praktisi teknologi pendidikan internasional Robert Kozma berpendapat bahwa adopsi teknologi digital hanyalah implikasi dari perubahan-perubahan tentang bagaimana esensi pendidikan dan pembelajaran dipahami.

Perubahan-perubahan tersebut mencakup; pertama, menata kembali peran guru: dari guru sebagai inisiator pembelajaran menjadi guru sebagai pemandu siswa menemukan cara belajar yang cocok baginya dan mengevaluasi sendiri pembelajarannya.

Kedua, menata kembali esensi pengajaran: dari guru yang bekerja sendirian menjadi guru yang berkolaborasi dengan guru lain. Ketiga, menata kembali peran siswa: dari siswa sebagai pelajar pasif ke siswa aktif yang bekerja sebagai tim dalam menciptakan pengetahuan baru dan menyelesaikan masalah.

Keempat, menata kembali peran institusi pendidikan: dari institusi yang terisolasi dari masyarakat ke institusi yang terintegrasi dengan masyarakat. Kelima, menata kembali peran orangtua: dari orangtua yang tidak mau tahu akan pendidikan anaknya menjadi orangtua yang aktif dalam kegiatan belajar anak.

Ujung-ujungnya hal utama yang paling dulu mesti ditinjau ulang adalah peran guru, siswa, sekolah, dan orangtua. Jika isu-isu yang sangat elementer tersebut belum diubah, bisa jadi teknologi bukannya menjadi solusi tapi malah menambah rumit persoalan pendidikan.

Pendidikan merupakan ranah yang sangat kompleks dan berantakan seperti benang kusut. Sifat alamiah pendidikan mencakup tidak hanya aspek teknologi saja, tapi juga aspek sosiologi masyarakat yang tumbuh dalam konteks tertentu, aspek psikologi anak yang sangat beragam, aspek politik di mana kebijakan tidak pernah netral dari kepentingan non-pendidikan, aspek ekonomi yang mempengaruhi stabilitas sosial tertentu, dan lain sebagainya.

Ada banyak sekali elemen dan sektor yang mesti diurai satu per satu. Dan teknologi bukanlah silver bullet yang ampuh memecahkan semua masalah pendidikan.

sumber: https://news.detik.com/kolom/d-4642405/teknologi-bukan-solusi-masalah-pendidikan?_ga=2.256447755.127389697.1569987019-1615553940.1569413730
Share:

Arsip Blog

Recent Posts