Pembangunan SDM dan Komitmen Pemerintah Daerah

Pembangunan SDM dan Komitmen Pemerintah DaerahFoto: Grandyos Zafna
Tantangan terbesar yang dihadapi dalam program pembangunan sumber daya manusia adalah komitmen dari pemerintah daerah sebagai pengelola pendidikan dasar bagi pemerintah kota/kabupaten dan sebagai pengelola pendidikan menengah untuk pemerintah provinsi seperti yang diatur dalam UU No 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah. Artinya, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sebagai pemerintah pusat bukanlah pelaksana dari program-program pendidikan.
Dengan kata lain, Kemdikbud tidak memiliki sekolah, tenaga pendidikan, maupun siswa; mereka hanya membuat kebijakan dan menyusun kurikulum saja.
Hal ini sangat berbeda dengan pandangan masyarakat tentang sistem pendidikan nasional di mana segala-galanya masih dikelola oleh pemerintah pusat.
Komitmen Anggaran

Berdasarkan UUD 1945 Pasal 31 ayat 4 secara jelas diatur bahwa negara wajib memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) serta dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. Implementasi dari konstitusi tersebut dijabarkan lagi dalam UU No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pada Pasal 49 ayat 1 dijelaskan bahwa dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari APBN pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari APBD.


Jika menggunakan data Neraca Pendidikan Daerah (NPD) yang disusun oleh Kemdikbud, bisa dilihat bahwa selama bertahun-tahun pemerintah daerah mengabaikan amanat konstitusi ini. Banyak pemerintah kota/kabupaten hanya mengalokasikan anggaran pendidikan bahkan kurang dari 1% tanpa transfer daerah. Transfer daerah sendiri porsinya sudah mencapai Rp 306,9 triliun dari Rp 505,8 triliun atau sekitar 60% dari total anggaran pendidikan pada RAPBN 2020, dan sekitar 12% dari total belanja pemerintah pada RAPBN 2020. Semestinya pemerintah daerah wajib mengalokasikan 20% pendapatan asli daerahnya untuk pendidikan di luar gaji pendidik agar prosentase benar-benar 20%. Apa yang dilakukan oleh daerah selama ini, transfer daerah ditambah PAD baru diambil 20% sebagai anggaran pendidikan.

Komitmen SDM

Penempatan SDM pada dinas-dinas pendidikan daerah seringkali didominasi oleh personel yang minim ilmu, minim informasi, serta minim pengalaman dalam bidang pengelolaan pendidikan. Bahkan sering kali para pejabatnya tidak ada keinginan untuk belajar meski tidak menguasai bidang pendidikan sama sekali. Para kepala daerah sebetulnya bisa mengadakan diklat atau pelatihan bagi pejabat yang akan ditempatkan di dinas pendidikan jika berasal dari organisasi perangkat daerah (OPD) lain, menunjukkan kurangnya komitmen dalam menyiapkan orang-orang terbaik untuk mengelola pendidikan di daerahnya.

Di sini terlihat bahwa pendidikan bukanlah prioritas di daerah. Sungguh suatu ironi karena dalam konstitusi negara tercantum dalam pembukaan bahwa pemerintah yang dibentuk berkewajiban untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Pemerintah di sini tentu saja bukan hanya pemerintah pusat, tetapi juga berlaku bagi pemerintah daerah. Suatu tindakan yang inkonstitusional jika pemerintah daerah tidak menempatkan pendidikan sebagai suatu prioritas.

Koordinasi dan Sinkronisasi

Kasus penerimaan peserta didik baru (PPDB) berbasis zonasi yang dalam tiga tahun terakhir selalu menjadi polemik menunjukkan kurangnya komitmen dari pemerintah daerah untuk melakukan koordinasi dan sinkronisasi program pendidikan dengan pemerintah pusat. Tujuan utama dari PPDB berbasis zonasi adalah untuk membuka akses pendidikan. Tidak ada satu daerah pun yang memiliki APM (angka partisipasi murni) 100% di semua level; mayoritas pejabat daerah tidak memahami maksud dan tujuannya sehingga pelaksanaan selalu setengah hati.

Kondisi seperti ini sering menimbulkan ungkapan bahwa pemerintah pusat kurang berkoordinasi dan sosialisasi program. Kenyataannya, sering sekali Kemdikbud melakukan rapat koordinasi dengan pejabat-pejabat dinas pendidikan. Namun karena komitmen SDM yang rendah, seringkali pejabat yang diutus mewakili daerah tidak memiliki kapasitas yang mumpuni, ruwetnya sistem informasi di daerah, juga faktor politis yang sering mempengaruhi tata kelola pemerintahan daerah, membuat segala koordinasi dan sosialisasi tidak sesuai dengan harapan.

Contoh lain yang saat ini sedang terjadi, Kemdikbud baru saja mengeluarkan Permendikbud No 35, 36, dan 37 tahun 2018 tentang mata pelajaran Informatika. Informatika adalah ilmu baru yang merupakan integrasi dari sains, teknologi, rekayasa, seni, dan matematika atau lebih dikenal dengan istilah STEAM. Sampai saat ini saya belum melihat satu dinas pendidikan pun yang menyambut hadirnya mata pelajaran yang memang dihadirkan untuk membekali siswa menghadapi tantangan Revolusi Industri 4.0. Seharusnya implementasi sudah mulai sejak Juli 2019 ini bersamaan dengan tahun ajaran baru.

Program Unggulan

Rendahnya komitmen dalam anggaran, penempatan SDM yang tepat, dan koordinasi/sinkronisasi kebijakan berimbas pada minimnya program-program pendidikan pada Rencana Kerja dan Anggaran (RKA) di daerah. Banyak sekali program copy paste yang dilakukan dari tahun ke tahun tanpa ada inovasi yang berbasis kearifan lokal. Misalnya, pembangunan SMK/perguruan tinggi yang disesuaikan dengan bidang ekonomi yang akan dibangun di suatu daerah. Di daerah kepulauan kecil tentunya yang cocok dibangun adalah institusi pendidikan dengan fokus maritim, bukan pertanian. Daerah wisata akan butuh lembaga pendidikan pariwisata, bukan teknik otomotif. Dan seterusnya. Intinya program kerja dinas pendidikan harus disesuaikan dengan pembangunan sektor-sektor lain.

Melihat tantangan-tantangan di atas, blueprint/grand design pembangunan SDM Indonesia sangatlah dibutuhkan. Dengan adanya blueprint pendidikan, pemerintah daerah "dipaksa" untuk memiliki komitmen pada program unggulan periode kedua dari Presiden Joko Widodo ini. Blueprint akan membantu daerah dalam menyusun program kerja dalam mensukseskan pembangunan SDM Indonesia yang unggul.

Presiden juga harus menunjuk leading sector untuk menjalankan program pembangunan SDM ini yang punya kewenangan lintas kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah. Jika tidak, Ibu Sri Mulyani selaku Menteri Keuangan setiap tahun akan selalu mengeluh tentang dana pendidikan yang besar, tetapi tidak membuahkan hasil yang optimal. Bonus Demografi beralih menjadi Bencana Demografi. Indonesia Emas akan berubah menjadi Indonesia Cemas.

sumber: https://news.detik.com/kolom/d-4693126/pembangunan-sdm-dan-komitmen-pemerintah-daerah
Share:

Dana Desa Bangun Asa Pendidikan di Pelosok Kalimantan Barat

Dana Desa Bangun Asa Pendidikan di Pelosok Kalimantan BaratFoto: Akfa Nasrulhak

Program Dana Desa yang digagas Presiden Joko Widodo melalui Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (kemendes PDTT) untuk membangun dari pinggiran kini telah menuai manfaat. Tak terkecuali, Desa Benua Kencana, Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat.
Meski masih sulit akses transportasi dan menempuh perjalanan hingga 2 jam 30 menit menembus hutan. Desa Benua Kencana sangat fokus terhadap dunia pendidikan. Selain digunakan untuk infrastruktur, ekonomi dan kesehatan, dana desa pun tak luput dimanfaatkan untuk meningkatkan kualitas pendidikan di desa.
Menurut Kepala Desa Benua Kencana, Musmuliadi, di desa yang seluas 3.228,7 hektare ini, terdapat 2 SD, yakni SDN 26 Sungai Kura dan SDN 12 Ansok. Dana desa yang diberikan oleh pemerintah pusat pun digunakan untuk membantu mendukung Program Kinerja dan Akuntabilitas (Kiat) Guru di kedua SD tersebut.

Dengan program ini guru mendapatkan tunjangan atas kinerja mereka. Sehingga tak ada lagi guru mangkir yang biasa terjadi di pelosok daerah. Malahan, guru yang berkinerja baik maka akan semakin sejahtera.
"Ada anggaran untuk KIAT Guru, jadi program penilaian guru, kinerja guru, istilahnya jam kerja mereka ada tim pengawasan, jadi ada reward gitu buat guru yang kinerjanya bagus itu. Itu kita alokasikan sebesar Rp 21 juta untuk 2 SD di Desa Benua Kencana, yakni SDN 12 Ansok dan SDN 26 Sungai Kura," ujar Musmuliadi saat ditemui detikcom di kediamannya, Kamis (30/9/2019).
Yeni Oktavia salah seorang guru SDN 26 Sungai Kura pada awalnya cukup prihatin saat pertama kali datang mengajar ke Desa Benua Kencana. Sebagai guru pendatang dari Padang, wanita berhijab ini mengaku tak betah awalnya karena berada di tempat terpencil tanpa adanya sinyal untuk berkomunikasi.

"Pertama kami datang ke sini agak-agak sangat sedih sekali. Tapi karena tugas datang dari Pemerintah jadi di manapun kami ditetapkan, kami tetap siap sedia," ujarnya.
Oleh karena itu, program Kiat guru ini tentu sangat membantu untuk meningkatkan kualitas pendidikan di desa tersebut. Para guru tak perlu memikirkan kesejahteraan lagi dan fokus mengajar para siswa menjadi sosok yang berguna di masa depan, walaupun berada di pedalaman dengan segala kekurangan.
"Meski begitu, di sini juga banyak yang berprestasi setelah sekolah di sini. Kan saya mengajar semua pelajaran di sini, ada juga anak-anak yang berprestasi, contohnya seperti sampai ke tingkat kabupaten itu mata pelajaran IPA, Juara III mata Pelajaran IPA se-Kabupaten Sintang kelas 5 waktu itu," ujarnya.
Fl Yan (78) salah seorang tokoh pendiri SDN Sungai Kura ini mengaku bangga kini SD yang dulunya hanya dua buah bangunan kosong, bisa melahirkan orang-orang berpendidikan. Bahkan, menurut mantan kepala sekolah SDN Sungai Kura selama 17 tahun ini, SD tersebut sudah melahirkan sosok pemimpin, yakni Bupati Melawi. Dengan begitu, ia berharap hal ini akan menjadi penyemangat anak-anak SD mengikuti jejak beliau.
Ia pun memiliki pantun yang terus akan diingat sepanjang hidupnya. "Rumah baru berdinding kulit. Itulah SD Sungai Kura. Kalau Anda belum tahu. Dari celah-celah dinding inilah keluar para sarjana.. Rumah baru berlantai bambu. Itulah ciri khas SDN Sungai Kura.. Kalau Anda belum tahu. Dari celah-celah dinding inilah muncul seorang bupati," ujarnya.
Dana Desa Dukung Guru Tingkatkan Pendidikan di Pelosok Kalimantan Foto: Akfa Nasrulhak
Fl Yan menceritakan, SDN 26 Sungai Kura asal mulanya adalah SD bantuan yang didirikan tahun 1957, kemudian di tahun 1980 berubah menjadi SD swasta Sungai Kura sampai tahun 2009 dan 2009 pun diubah lagi menjadi SD Negeri 26 karena kehendak pemerintah.

Di SDN 26 Sungai Kura ini terdapat pemondokan bagi siswa-siswa yang bertempat tinggal jauh dari SD tersebut. Jika tak ada pemondokan tersebut, para siswa harus menempuh jalanan terjal sekitar 3-4 jam berjalan kaki. Saat ini, pemondokan alias rumah singgah di dekat SDN 26 Sungai Kura berjumlah 18 rumah, dengan siswa 34 orang dari Desa Riam Batu. Dengan adanya rumah ini, mereka bisa bersekolah tanpa harus menempuh perjalanan jauh dan ekstrem dari rumah ke sekolah.

Share:

Di Rumah Singgah Gelap Gulita, Anak Pedalaman Rintis Mimpi Jadi Guru

Di Rumah Singgah Gelap Gulita, Anak Pedalaman Rintis Mimpi Jadi GuruFoto: Akfa Nasrulhak

Langit mulai gelap, namun di beberapa gubuk dekat SDN 26 Sungai Kura, Desa Benua Kencana, Kecamatan Tempunak Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat masih terpancar pelita yang bersumber dari lilin dan solar yang dibakar.
Cahaya remang itulah yang setia menemani Bella Saphira (15), salah satu siswa SMP Negeri 8 Tempunak yang satu komplek dengan SDN 26 Sungai Kura. Setiap malam dalam kondisi cahaya terbatas ini, Bella belajar hingga larut malam di rumah singgah.
Di gubuk yang lain, tak lebih baik, teman-teman Bella belajar dengan senter yang menempel di kepala. Tinggal 1 semester lagi ia bersekolah, Bella justru tak punya bayangan akan seperti apa masa depannya meski cita-cita sebagai guru dia gantungkan di sana.
Seperti anak-anak lain, Bella juga punya keinginan besar melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.

"Nggak tahu, harapannya ingin melanjutkan. Tapi nggak tahu lah lihat nanti aja," ujar Bella saat di temui detikcom di rumah singgahnya, Jumat (30/8/2019).
Dalam kesehariannya, Bella tinggal berdua bersama adiknya yang masih duduk di kelas 3 SDN Sungai Kura di sebuah rumah singgah. Kedua orang tuanya mereka tinggal di desa terpisah yaitu di Desa Riam Batu, Kecamatan Tempunak.
Setiap akhir pekan, Bella dan adiknya selalu pulang ke desanya. Rumah singgah tersebut sangat berarti bagi Bella dan adiknya. Sebab tanpa adanya rumah sederhana tersebut, Bella harus berjalan di medan yang terjal selama 3 jam. Belum lagi jika hujan turun, tentu jalanan semakin licin dan membahayakannya.
"Ada adik kelas 3 SD, kami berdua saja di sini. Ibu sama bapak di hulu. Pulang setiap hari Sabtu, balik lagi Minggu. Kalau pulangnya biasa jalan kaki 3 jam ke Desa Riam Batu. Biasanya pulang nggak bawa apa-apa, pas ke sini lagi diantar sama bapak pakai motor," ujarnya.

Keluarganya hidup sangat pas-pasan. Kedua orang tuanya bekerja sebagai penyadap karet. Setiap hari, Bella selalu memasak sendiri, dengan lauk pauk seadanya.

"Sehari-hari orang tua berladang, noreh karet," ujarnya.
Tidak seperti anak-anak pada umumnya, di rumah singgah ini Bella mengerjakan semuanya sendiri tanpa bantuan orang tua. Selepas bangun tidur saja Bella harus lekas memasak nasi dan sepotong tempe untuk sarapan bersama adiknya. Barulah setelah selesai urusan dapur dan mandi di sungai, sekitar Bella pergi ke sekolah.
Meskipun hidup serba terbatas, Bella memiliki prestasi yang membanggakan. Sejak bersekolah di SDN Sungai Kura hingga saat ini duduk di kelas 3 SMPN 8 Tempunak, Bella selalu menjadi juara kelas.
"Pulang sekolah ngajar les di perpustakaan rumah singgah ini. Jadi salah satu rumah ini didedikasikan buat perpustakaan. Harapannya sih rumah-rumah ini dikasih fasilitas untuk penerangan dan air bersih," ujarnya.
Di Rumah Singgah Gelap Gulita, Anak Pedalaman Rintis Mimpi Jadi GuruFoto: Akfa Nasrulhak

Bella adalah salah satu dari siswa-siswa yang tinggal di rumah singgah dekat sekolah SDN Sungai Kura dan SMPN 8 Tempunak. Selain sebagai tempat untuk 'numpang nginap', rumah sederhana ini dimanfaatkan sebagai perpustakaan dan sanggar kreativitas anak-anak.
Tahun ini, dengan menggunakan dana desa yang dialokasikan dari pemerintah, Desa Benua Kencana siap membangun wc umum untuk laki-laki dan perempuan sebagai akses air bersih bagi mereka. Sementara Pemerintah Desa Riam Batu akan membantu penerangan dengan menyediakan PLTS bagi rumah-rumah tersebut.

Sebagai informasi, Desa Benua Kencana telah pada 2019 memperoleh jatah dana desa Rp 842.923.000 dan pada tahun 2018 sebesar Rp 732.388.000 ribu. Hingga saat ini, dana desa telah dianggarkan untuk pembangunan kantor desa, polindes, hingga memberikan insentif kepada guru-guru di Desa Benua Kencana dalam program Kiat Guru. Selebihnya masih fokus untuk perbaikan dan pembangunan infrastruktur dan sarana olahraga desa.

Share:

Awalnya Rumah Tinggal, Disulap Jadi Pusat Kreativitas Anak Pedalaman

Awalnya Rumah Tinggal, Disulap Jadi Pusat Kreativitas Anak PedalamanFoto: Akfa Nasrulhak
Sinar terik matahari siang itu di SDN 26 Sungai Kura Desa Benua Kencana, Kabupaten Sintang, Provinsi Kalimantan Barat, sama sekali tak menyurutkan langkah anak-anak untuk semangat menari. Riang gembira mereka mempersembahkan tarian khas daerah suku dayak bernama 'Temuai Datai'.

Warga Desa Benua Kencana ini sebagian besar penduduk merupakan Suku Dayak Seberuang, meskipun ada beberapa dari Suku Jawa, Batak, bahkan Sunda. Mereka sangat ramah dan selalu menyambut dengan baik setiap kedatangan tamu yang datang, salah satu lewat tarian penyambutan 'Temuai Datai'.

Salah satu penari, Bella Saphira (15) mengaku dirinya sudah 6 kali tampil dengan membawakan kesenian tradisional khas suku dayak di Kalimantan Barat tersebut. Memang, tarian tersebut biasa ditampilkan untuk penyambutan saja. Gerakannya pun sederhana, diiringi musik yang lemah gemulai dan dilengkapi pakaian adat yang terbuat dari kulit kayu, serta ikat kepala bulu burung besar.


"Ini karena memang bagus, jadi suka dipakai buat penyambutan. Kami rutin latihannya 4 kali dalam seminggu. Sekitar jam 2 di rumah teman saya yang punya lagu, Abel. Ini, namanya Tarian Temuai Datai. Temuai itu artinya tamu, datai itu ya datang, jadi memang tarian ini untuk menyambut tamu-tamu yang datang," ujar Bella saat ditemui detikcom di rumah singgah tersebut, beberapa waktu lalu.

Bermula sejak kelas 6 SD, gadis yang selalu mendapat juara kelas selama bersekolah ini mulai tertarik dengan seni tari. Apalagi, rumah yang ia tinggal sebagai tempat bermalam, sebelumnya tak pernah ada kegiatan untuk mengembangkan bakat. Karena itu, selain terus belajar keras untuk meraih prestasi di bidang akademik, ia juga ingin mengembangkan bakat seni.

Adapun tempat pemondokan alias rumah singgah yang ditinggalinya, dulunya memang dibangun untuk memudahkan para siswa yang bersekolah di SDN 26 Sungai Kura. Jika tak ada rumah singgah ini, mereka harus menempuh jalanan terjal, bahkan berlumpur saat musim hujan dengan waktu tempuh hingga 3-4 jam dengan berjalan kaki.

Menurut mantan Kepala Sekolah SDN 26 Sungai Kura, Fl Yan (78), dulunya rumah tinggal ini hanya beralaskan kayu tanpa diraut terlebih dulu dan beratapkan daun. Meski begitu, rumah tersebut cukup layak untuk hanya sekadar tempat anak-anak menginap daripada harus pulang pergi setiap hari ke rumah mereka di Desa Riam Batu, desa paling ujung di Kabupaten Sintang sebelum Desa Benua Kencana.

"Waktu itu mereka buat rumah dan atapnya dari daun semua. Setiap dua tahun, atap itu harus diganti. Sampai sekarang, asrama ini sudah semakin baik lah. Kalau dulu atapnya daun dan dindingnya bambu, sekarang atapnya sudah seng dan dindingnya papan. Katakan, agak lumayan lah dari dulu tahun 1957," ujarnya.

Rumah Singgah di Desa Benua KencanaRumah Singgah di Desa Benua Kencana Foto: Akfa Nasrulhak

Saat ini, rumah tinggal yang dibangun tersebut tidaklah hanya berfungsi untuk rumah tinggal semata. Pemerintah Desa Benua Kencana bersama dengan masyarakat desa berinisiatif untuk menjadikan rumah tinggal lebih bermanfaat. Dengan menambah fungsi rumah tersebut, inovasi-inovasi yang dikembangkan antara lain menambah ruang pada rumah tinggal sebagai pusat kreativitas bagi anak-anak sekitar.

Suci Wulandari (11) adalah salah satu siswa kelas 6 SDN 26 Sungai Kura, pernah mendapat penghargaan di tingkat kecamatan dari hasil kreasinya yang dibuat di rumah singgah tersebut, yaitu beragam jenis anyaman. Bahan-bahan yang digunakan pun tak sembarang, ia harus mencari pohon bambu dan tanaman resam, atau paku andam ke tengah hutan.

"Ini (bahan-bahannya) dari hutan. Sekitar 3 jam ke sana, waktu itu sama teman saya, Nadia. Berdua aja. Berani lah ke tengah hutan buat nyari ini. Nggak kenapa-kenapa, soalnya ada jalurnya juga kok," ujar Suci sambil memperlihatkan ragam hasil anyamannya.

Suci Wulandari bersama hasil anyamannyaSuci Wulandari bersama hasil anyamannya Foto: Akfa Nasrulhak

Biasanya, di saat waktu santai atau sehabis pulang sekolah, Suci bersama teman-teman membuat aneka anyaman di rumah singgah yang kini dijadikan perpustakaan dan pusat kreativitas tersebut. Setelah mendapat bahan dari hutan, tanaman sejenis akar tersebut harus direndam terlebih dulu. Kemudian, dengan telaten dan hati-hati, Suci mulai meraut duri yang ada dari tanaman tersebut dan kemudian menganyam dengan potongan pohon bambu. Salah satu anyamannya adalah Bubu, sejenis alat untuk menangkap ikan ramah lingkungan di sungai.

"Cara membuat bubu itu pertama kan bahannya dari bambu, bambu itu diraut supaya jadi halus. Kemudian dianyam pakai, resam. Saya hobinya memang buat anyaman, saya belajar ini dari mamah sama bapak. Bapak sama mama juga suka nganyam. Ini pernah dilombain, pertama di Desa Tembak terus ke Kecamatan Tempunak. Jadi juara 2," ujarnya.

Selain Bubu untuk menangkap ikan, Suci pun membuat perlengkapan menangkap ikan lainnya seperti Kemansai, Kebudu, dan juga perlengkapan untuk menaruh padi saat masa panen.


"Kalau biasanya kan pakai karung, orang sini tuh biasa pakai ini buat nyimpan padi. Sama ada juga untuk jemur padi, ini dari tanaman singgang, sejenis pohon asam," ujarnya.

"Ini bisa buat tikar atau buat padi juga. Ini buat dijual juga, harganya ada yang Rp 30 ribu ada yang Rp 50 ribu. Kalau ada yang pesan bisa dibuat," tambahnya.

Gadis kecil yang bercita-cita sebagai guru matematika ini mengaku senang bisa bersekolah di SDN 26 Sungai Kura. Apalagi, didukung dengan perpustakaan dan sanggar kreativitas yang membantu mengembangkan bakatnya.

"Saya sangat senang sekali belajar di sini, bisa belajar sama teman-teman, ada perpustakaan, Bukunya juga cukup lengkap untuk pelajaran . Jadi bisa ngerjain tugas atau PR di sini," ujarnya.

"Saya ingin kerajinan ini bisa dikembangkan, terutama buat bantu mama saya. Harapan saya, mau punya rumah yang bagus, dan air bersihnya juga ada," pungkasnya.

Ke depan, Pemerintah Desa Benua Kencana, bersama Desa Riam Batu akan mengembangkan rumah singgah tersebut agar lebih layak lagi demi mendukung masa depan pendidikan anak-anak. Seperti penyediaan air bersih, hingga Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) untuk penerangan. Adapun sumber dana fasilitas tersebut, akan dialokasikan dari dana desa.

Sebagai informasi, Desa Benua Kencana pada 2019 memperoleh jatah dana desa Rp 842.923.000 dan pada tahun 2018 sebesar Rp 732.388.000 ribu. Hingga saat ini, dana desa telah dianggarkan untuk pembangunan kantor desa, polindes, hingga memberikan insentif kepada guru-guru di Desa Benua Kencana dalam program Kiat Guru. Selebihnya masih fokus untuk perbaikan dan pembangunan infrastruktur dan sarana olahraga desa.

Share:

Potret Pendidikan Sekolah Dasar di Ujung Pulau Simeulue

Potret Pendidikan Sekolah Dasar di Ujung Pulau SimeulueFoto: Rifkianto Nugroho
Simeulue Cut adalah salah satu kecamatan yang ada di Kabupaten Simeulue, Provinsi Aceh. Kecamatan Simeulue Cut terbagi menjadi dua wilayah, ada yang ditinggali oleh masyarakat ada juga yang terpisah dari daratan.

Dalam program Tapal Batas edisi Sinabang, tim detikcom berkesempatan untuk mengunjungi SD Negeri 3 Simeulue Cut. Di sekolah yang jumlah muridnya ada 68 siswa ini, anak-anak belajar dengan antusias.

Setidaknya, hal ini dapat dilihat dari semangat mereka ketika para anggota TNI AD setempat membagikan buku-buku pelajaran. Salah seorang guru di SDN 3 Simeulue Cut, Irhan, menuturkan anak-anak di sekitar sekolah belum semuanya bisa mengenyam bangku sekolah.

"Di sini memang jumlah muridnya sedikit karena memang satu desa paling banyak ada 200 KK saja," terangnya.

Ia menuturkan sekolah di Pulau ini sudah gratis. Hanya saja, murid-murid masih perlu biaya untuk membeli seragam dan peralatan sekolah lainnya. Hal ini lah yang akhirnya membuat tidak semua anak-anak di Kecamatan Simeulue Cut dapat bersekolah.

"Orang tua (anak-anak di sini) sampai rumah gak mau mendampingi (belajar), padahal jaraknya dekat. Kadang orang tua mau anaknya sekolah, tapi mereka harus mencari uang hari ini untuk makan besok," tuturnya.

Di sisi lain, tenaga pengajar di SDN 3 Simeulue Cut juga kurang. Irhan menyebut hanya ada 15 orang tenaga pengajar di sekolah ini. Delapan di antaranya sudah menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Sedangkan tujuh di antaranya adalah honorer. Ada juga guru yang statusnya hanya bakti murni alias magang. Mereka digaji menggunakan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS).

Dijelaskan Irhan, ia mengaku senang ada program tes pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja atau PPPK dari honorer K2. Namun hal itu diakuinya belum efektif menambah jumlah tenaga pengajar di Simeulue Cut.

"Jadi kalau di sini kebanyakan memang ada yang tes CPNS atau PPPK, tapi yang masuk adalah mereka yang asalnya dari Kota seperti Medan, Aceh dan lain-lain. Sehingga kalau sudah masuk jadi PNS mereka hanya bertahan dua tahun saja lalu pindah ke kota asal mereka," jelasnya.


"Itulah yang akhirnya membuat kami terus kekurangan tenaga pengajar," tambahnya.

Namun, dengan segala kekurangan yang ada, Irhan dan para guru lain mengaku tetap mengajarkan anak-anak semaksimal mungkin. Mulai dari membaca, menulis dan berhitung. Hal ini dilakukan demi memupuk mimpi anak-anak di pulau Simeulue Cut.

"Memang kalau di sini kan perlu bayar kecuali buat praktikum. Kami ingin supaya pemerintah bisa menyaring lebih banyak tenaga pengajar yang mau mengajar di sini. Kalau perlu yang diprioritaskan untuk jadi PNS atau PPPK adalah mereka yang memang orang asli Simeulue Cut," pungkasnya.

sumber: https://news.detik.com/berita/d-4723779/potret-pendidikan-sekolah-dasar-di-ujung-pulau-simeulue
Share:

Jokowi-Ma'ruf Amin Diminta Perbaiki Pengelolaan Anggaran Pendidikan

Share:

Bagaimana Cara Menyiapkan Dana Pendidikan Anak?


Share:

Recent Posts