Pembangunan SDM dan Komitmen Pemerintah Daerah

Pembangunan SDM dan Komitmen Pemerintah DaerahFoto: Grandyos Zafna
Tantangan terbesar yang dihadapi dalam program pembangunan sumber daya manusia adalah komitmen dari pemerintah daerah sebagai pengelola pendidikan dasar bagi pemerintah kota/kabupaten dan sebagai pengelola pendidikan menengah untuk pemerintah provinsi seperti yang diatur dalam UU No 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah. Artinya, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sebagai pemerintah pusat bukanlah pelaksana dari program-program pendidikan.
Dengan kata lain, Kemdikbud tidak memiliki sekolah, tenaga pendidikan, maupun siswa; mereka hanya membuat kebijakan dan menyusun kurikulum saja.
Hal ini sangat berbeda dengan pandangan masyarakat tentang sistem pendidikan nasional di mana segala-galanya masih dikelola oleh pemerintah pusat.
Komitmen Anggaran

Berdasarkan UUD 1945 Pasal 31 ayat 4 secara jelas diatur bahwa negara wajib memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) serta dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. Implementasi dari konstitusi tersebut dijabarkan lagi dalam UU No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pada Pasal 49 ayat 1 dijelaskan bahwa dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari APBN pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari APBD.


Jika menggunakan data Neraca Pendidikan Daerah (NPD) yang disusun oleh Kemdikbud, bisa dilihat bahwa selama bertahun-tahun pemerintah daerah mengabaikan amanat konstitusi ini. Banyak pemerintah kota/kabupaten hanya mengalokasikan anggaran pendidikan bahkan kurang dari 1% tanpa transfer daerah. Transfer daerah sendiri porsinya sudah mencapai Rp 306,9 triliun dari Rp 505,8 triliun atau sekitar 60% dari total anggaran pendidikan pada RAPBN 2020, dan sekitar 12% dari total belanja pemerintah pada RAPBN 2020. Semestinya pemerintah daerah wajib mengalokasikan 20% pendapatan asli daerahnya untuk pendidikan di luar gaji pendidik agar prosentase benar-benar 20%. Apa yang dilakukan oleh daerah selama ini, transfer daerah ditambah PAD baru diambil 20% sebagai anggaran pendidikan.

Komitmen SDM

Penempatan SDM pada dinas-dinas pendidikan daerah seringkali didominasi oleh personel yang minim ilmu, minim informasi, serta minim pengalaman dalam bidang pengelolaan pendidikan. Bahkan sering kali para pejabatnya tidak ada keinginan untuk belajar meski tidak menguasai bidang pendidikan sama sekali. Para kepala daerah sebetulnya bisa mengadakan diklat atau pelatihan bagi pejabat yang akan ditempatkan di dinas pendidikan jika berasal dari organisasi perangkat daerah (OPD) lain, menunjukkan kurangnya komitmen dalam menyiapkan orang-orang terbaik untuk mengelola pendidikan di daerahnya.

Di sini terlihat bahwa pendidikan bukanlah prioritas di daerah. Sungguh suatu ironi karena dalam konstitusi negara tercantum dalam pembukaan bahwa pemerintah yang dibentuk berkewajiban untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Pemerintah di sini tentu saja bukan hanya pemerintah pusat, tetapi juga berlaku bagi pemerintah daerah. Suatu tindakan yang inkonstitusional jika pemerintah daerah tidak menempatkan pendidikan sebagai suatu prioritas.

Koordinasi dan Sinkronisasi

Kasus penerimaan peserta didik baru (PPDB) berbasis zonasi yang dalam tiga tahun terakhir selalu menjadi polemik menunjukkan kurangnya komitmen dari pemerintah daerah untuk melakukan koordinasi dan sinkronisasi program pendidikan dengan pemerintah pusat. Tujuan utama dari PPDB berbasis zonasi adalah untuk membuka akses pendidikan. Tidak ada satu daerah pun yang memiliki APM (angka partisipasi murni) 100% di semua level; mayoritas pejabat daerah tidak memahami maksud dan tujuannya sehingga pelaksanaan selalu setengah hati.

Kondisi seperti ini sering menimbulkan ungkapan bahwa pemerintah pusat kurang berkoordinasi dan sosialisasi program. Kenyataannya, sering sekali Kemdikbud melakukan rapat koordinasi dengan pejabat-pejabat dinas pendidikan. Namun karena komitmen SDM yang rendah, seringkali pejabat yang diutus mewakili daerah tidak memiliki kapasitas yang mumpuni, ruwetnya sistem informasi di daerah, juga faktor politis yang sering mempengaruhi tata kelola pemerintahan daerah, membuat segala koordinasi dan sosialisasi tidak sesuai dengan harapan.

Contoh lain yang saat ini sedang terjadi, Kemdikbud baru saja mengeluarkan Permendikbud No 35, 36, dan 37 tahun 2018 tentang mata pelajaran Informatika. Informatika adalah ilmu baru yang merupakan integrasi dari sains, teknologi, rekayasa, seni, dan matematika atau lebih dikenal dengan istilah STEAM. Sampai saat ini saya belum melihat satu dinas pendidikan pun yang menyambut hadirnya mata pelajaran yang memang dihadirkan untuk membekali siswa menghadapi tantangan Revolusi Industri 4.0. Seharusnya implementasi sudah mulai sejak Juli 2019 ini bersamaan dengan tahun ajaran baru.

Program Unggulan

Rendahnya komitmen dalam anggaran, penempatan SDM yang tepat, dan koordinasi/sinkronisasi kebijakan berimbas pada minimnya program-program pendidikan pada Rencana Kerja dan Anggaran (RKA) di daerah. Banyak sekali program copy paste yang dilakukan dari tahun ke tahun tanpa ada inovasi yang berbasis kearifan lokal. Misalnya, pembangunan SMK/perguruan tinggi yang disesuaikan dengan bidang ekonomi yang akan dibangun di suatu daerah. Di daerah kepulauan kecil tentunya yang cocok dibangun adalah institusi pendidikan dengan fokus maritim, bukan pertanian. Daerah wisata akan butuh lembaga pendidikan pariwisata, bukan teknik otomotif. Dan seterusnya. Intinya program kerja dinas pendidikan harus disesuaikan dengan pembangunan sektor-sektor lain.

Melihat tantangan-tantangan di atas, blueprint/grand design pembangunan SDM Indonesia sangatlah dibutuhkan. Dengan adanya blueprint pendidikan, pemerintah daerah "dipaksa" untuk memiliki komitmen pada program unggulan periode kedua dari Presiden Joko Widodo ini. Blueprint akan membantu daerah dalam menyusun program kerja dalam mensukseskan pembangunan SDM Indonesia yang unggul.

Presiden juga harus menunjuk leading sector untuk menjalankan program pembangunan SDM ini yang punya kewenangan lintas kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah. Jika tidak, Ibu Sri Mulyani selaku Menteri Keuangan setiap tahun akan selalu mengeluh tentang dana pendidikan yang besar, tetapi tidak membuahkan hasil yang optimal. Bonus Demografi beralih menjadi Bencana Demografi. Indonesia Emas akan berubah menjadi Indonesia Cemas.

sumber: https://news.detik.com/kolom/d-4693126/pembangunan-sdm-dan-komitmen-pemerintah-daerah
Share:

Recent Posts