Dilema Anggaran Jumbo Pendidikan Minim Hasil


Dilema Anggaran Jumbo Pendidikan Minim Hasil Ilustrasi pendidikan. (CNN Indonesia/Andry Novelino).

Pendidikan menjadi salah satu poin sentral dalam visi misi pasangan capres-cawapres Joko Widodo-Ma'ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Kedua pasangan sama-sama mengusung reformasi pada sistem pendidikan di Tanah Air. Tak pelak, pendidikan menjadi salah satu topik dalam debat cawapres yang akan digelar pada Minggu (13/3).

Pentingnya pendidikan sudah termuat sejak Indonesia berdiri melalui Undang-Undang Dasar 1945. Dalam pasal 31A UUD 1945 disebutkan bahwa negara wajib menyediakan pendidikan bagi warga negara, seluruh warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar, mengusahakan dan menyelenggarakan sistem pendidikan nasional, dan memajukan ilmu pengetahuan, dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai agama.

Selain itu, amanat yang tak kalah penting adalah negara harus menyediakan sekurang-kurangnya anggaran sebanyak 20 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) demi pendidikan. Wajibnya ketentuan ini diatur pada pasal 49 ayat 1 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Pasangan Prabowo-Sandiaga menawarkan sejumlah janji guna mereformasi sistem pendidikan, antara lain terkait kesejahteraan guru dengan mengangkat para guru honorer untuk menjadi PNS hingga  memberlakukan upah minimum untuk guru swasta hingga dosen. Selain itu, mereka juga menjanjikan untuk mengefisiensikan penggunaan anggaran pendidikan demi meningkatkan kualitas pendidikan.

Sementara pasangan Jokowi-Ma'ruf menjanjikan reformasi pendidikan, yang antara lain dilakukan melalui revitalisasi pendidikan dan pelatihan vokasi. Tak lupa, reformasi sistem pendidikan diarahkan untuk meningkatkan akses, keadilan, dan pemerataan kualitas pendidikan.

Visi misi keduanya tentu tak bisa lepas dari peran penting anggaran pendidikan. Bagaimana sebenarnya proporsi anggaran pendidikan dan kualitas SDM Indonesia saat ini?

Berdasarkan data Kementerian Keuangan, alokasi anggaran pendidikan dalam lima tahun terakhir terus meningkat. Pada 2015, pemerintah mengalokasikan anggaran pendidikan Rp390,3 triliun atau 21,56 persen dari realisasi APBN 2015 sebesar Rp1.810 triliun. Namun, anggaran ini turun di tahun 2016 meski belanja pemerintah terus menanjak. Hasilnya, dengan angka Rp370,8 triliun, anggaran pendidikan pas menyentuh 20 persen dari be;anja pemerintah kala itu Rp1.859,46 triliun.

Setelah itu, anggaran pendidikan kembali naik ke angka Rp406 triliun atau 20,28 persen dari total belanja pemerintah 2017 sebesar Rp2.001,6 triliun. Sementara di tahun lalu, anggaran pendidikan sebesar Rp435 triliun mengambil porsi 19,75 persen dari total realisasi belanja Rp2.202,2 triliun.

Sementara itu, dalam APBN 2019, pemerintah menganggarkan belanja pendidikan sebesar Rp492,5 triliun atau 20,01 persen dari total belanja negara sebesar Rp2.461,1 triliun.

Sayang, anggaran yang tinggi tak menjadi jaminan kualitas pendidikan yang dihasilkan sudah mumpuni.

Terkait hal itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati baru-baru ini juga mencurahkan isi hatinya. Menurut dia, pemerintah sebenarnya sudah punya keinginan politik dan anggaran untuk memajukan pendidikan. Hanya saja, eksekusi anggaran itu tidak berjalan dengan baik, sehingga kualitas pendidikan di Indonesia tak sebanding dengan anggaran yang dikeluarkan.

Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini mengacu pada skor The Program for International Student Assessment (PISA) yang diterbitkan oleh organisasi negara-negara maju (Organisation for Economic Cooperation and Development/OECD). Skor PISA mengukur tiga indikator yakni matematika, ilmu sains, dan membaca.

Di tahun 2018, Indonesia menempati posisi 62 dengan skor PISA sebesar 395,3. Angka ini jauh lebih rendah dibanding negara tetangga seperti Singapura dengan skor 556, Thailand dengan skor 415, bahkan tertinggal dengan Vietnam dengan skor 495.

Melihat hal ini, Sri Mulyani mengaku miris. "Indonesia masih berada di belakang beberapa negara Asia dari segi pendidikan, padahal kami telah mengeluarkan anggaran 20 persen dari APBN untuk edukasi selama 10 tahun terakhir. Ini masih belum memuaskan, bahkan mungkin kami kecewa karena lulusan pendidikan Indonesia tidak mencapai level yang diinginkan," jelasnya.

Itu baru sebatas satu indikator pendidikan. Indikator pendidikan lainnya, menurut dia, juga menunjukkan bahwa anggaran pendidikan belum berhasil membuat anak-anak melenggang ke jajaran pendidikan yang lebih tinggi.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan Angka Partisipasi Sekolah (APS) semakin menurun setiap siswa bertambah usia. Di tahun 2017, angka partisipasi sekolah usia 7 hingga 12 tahun tercatat 99,14 persen. Namun, angka ini kemudian menurun untuk usia golongan 13 hingga 15 tahun yakni 95,08 persen. Partisipasi ini kemudian menurun untuk golongan usia 16 hingga 18 tahun dan 19 hingga 24 tahun dengan masing-masing angka partisipasi 71,42 persen dan 24,77 persen.

Pengamat Pendidikan dari Center of Education, regulation, and Development Analysis (CERDAS) indra Charismiadji sepakat bahwa masalah anggaran bukanlah menjadi biang kerok kualitas pendidikan Indonesia. Anggaran sebesar 20 persen dari APBN dianggap sudah cukup mumpuni, sehingga harusnya persoalan kualitas pendidikan tidak lagi berkutat mengenai jumlah anggaran.

Ia menyebut, setidaknya ada tiga permasalahan utama terkait pengelolaan anggaran pendidikan di Indonesia. Pertama, pemangku kebijakan di bidang pendidikan tak punya cetak biru (blueprint) mengenai output sistem pendidikan di Indonesia. Dengan kata lain, anggaran yang dikeluarkan saat ini tak memiliki tujuan yang jelas.

Ilustrasi pendidikan vokasi yang menjadi fokus pemerintahan Jokowi. (REUTERS/Darren Whiteside)
Ia mengibaratkan hal ini seperti membangun rumah. Dengan desain yang jelas, maka anggaran sebesar Rp500 juta bisa digunakan untuk membangun rumah dengan tiga kamar tidur. Namun, jika tak ada desain yang baik, maka anggaran Rp500 juta bisa-bisa hanya menjadi rumah dengan satu kamar tidur saja.

"Jadi memang Indonesia tidak punya grand design mengenai apa konsep yang jelas mengenai pendidikan ini. Selama ini Indonesia selalu main bangun ini itu, atau lakukan ini itu," jelas Indra.

Selain itu, masalah kedua adalah ketiadaan pihak yang memimpin (leading sector) pengelolaan anggaran pendidikan. Ia mencontohkan pengelolaan sekolah dasar di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dan madrasah ibitidaiyah oleh Kementerian Agama yang sejatinya memiliki kurikulum yang hampir sama, kecuali soal pendidikan agama.

Perbedaan pengelolaan itu membuat masing-masing lembaga punya pandangan berbeda mengenai output siswa yang berkualitas. Bahkan terkadang, dengan situasi otonomi daerah seperti saat ini, pemerintah daerah juga punya agenda politik tersendiri untuk dimasukkan ke dalam kurikulum pendidikan dasar.

"Daerah ada agenda sendiri, padahal anggarannya ini juga berasal dari pusat. Tapi pusat pun tidak punya kewenangan di daerah dalam hal pendidikan dasar," imbuhnya.

Yang terakhir, dan paling penting, menurut dia adalah evaluasi. Sejak pemberlakuan mandatori 20 persen anggaran pendidikan di dalam APBN 10 tahun silam, belum pernah ada evaluasi mengenai korelasi anggaran dengan kualitas pendidikan yang dihasilkan. Padahal, evaluasi ini sangat penting untuk menilai, apakah anggaran pendidikan yang besar ini sudah cukup atau memang perlu ditambah lagi.

Masalah evaluasi ini, lanjut indra, juga pernah disorot oleh laporan Bank Dunia bertajuk "Spending More or Spending Better: Improving Education Financing in Indonesia". Kala itu, Bank Dunia menyebut Indonesia tidak memiliki evaluasi anggaran pendidikan yang baik. Malahan, Bank Dunia menemukan inefisiensi pada anggaran pendidikan.

Di dalam laporan bertahun 2013 tersebut, Bank Dunia menemukan anggaran pendidikan sebagian besar jatuh untuk membiayai gaji dan sertrifikasi guru. Tercatat, 60 persen anggaran pendidikan malah jatuh untuk membiayai guru-guru di tingkat regional.

"Kalau ada evaluasi mengenai anggaran pendidikan ini akan sangat baik sekali dampaknya ke pengelolaan anggaran pendidikan ke depan. Utamanya mengenai rasio antara guru dan murid, karena gurunya sudah terlalu banyak, namun persebarannya tidak merata. Apalagi ada kajian bahwa 14 persen guru sering tidak masuk dalam sehari. Evaluasi seperti ini yang kami harapkan yang bisa dijadikan pertimbangan perlu tidaknya anggaran pendidikan dinaikkan," jelas dia.

Setali tiga uang, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan jumlah anggaran bukan jaminan kualitas pendidikan akan meningkat. Dalam hal ini, ia membandingkan Indonesia dengan Vietnam, yang sama-sama punya anggaran mandatori pendidikan sebesar 20 persen dari APBN.

Bhima berkisah, Vietnam memberlakukan kebijakan itu mulai 2008, atau setahun lebih awal dibanding Indonesia. Meski begitu, hasilnya cukup berbeda. Di dalam skor PISA, Vietnam kini menempati posisi 22, sementara Indonesia harus puas menduduki peringkat 62.

Menurut dia, pengelolaan anggaran yang keliru terletak di peruntukkan belanja. Saat ini, ia menganggap pemerintah hanya fokus di belanja infrastruktur pendidikan dan gaji guru. Padahal menurutnya, anggaran pendidikan yang paling penting harus ditujukan kepada peningkatan kemampuan guru, persebaran guru, dan optimalisasi kurikulum pendidikan.

"Kalau akar masalahnya tidak diselesaikan mau 50 persen anggaran pendidikan dari APBN juga percuma," jelas dia.

Menurutnya, salah satu pangkal utama anggaran pendidikan yang tidak tepat sasaran adalah rasio guru. Kadang, ada wilayah yang punya rasio guru antara murid yang cukup besar. Makanya, di luar anggaran pendidikan, pemerintah juga harus menyediakan insentif dari sisi anggaran agar guru-guru mau direlokasi ke tempat lain.

Salah satunya, adalah menaikkan insentif guru honorer sehingga guru pun ikut terpacu untuk meningkatkan kualitas dirinya sendiri. Bahkan menurutnya, insentif bagi guru ini jauh lebih penting dibanding anggaran bagi kartu pra pekerja yang akan diluncurkan Presiden Joko Widodo jika ia terpilih lagi nantinya.

"Lebih baik berikan ke guru daripada dikasih ke pengangguran," papar dia.


sumber: https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20190313204741-532-377038/dilema-anggaran-jumbo-pendidikan-minim-hasil
Share:

Recent Posts