Mahasiswa Indonesia Ungkap Penyimpangan Kuliah-Magang Taiwan


Mahasiswa Indonesia Ungkap Penyimpangan Kuliah-Magang Taiwan Perhimpunan Pelajar Indonesia di Taiwan mengakui ada banyak keluhan mahasiswa terkait penyimpangan program kuliah-magang strata-1 (S1), termasuk dugaan eksploitasi. (Thinkstock/diego_cervo)

Dugaan penyimpangan praktik pendidikan bagi mahasiswa asing program kuliah-magang tingkat strata-1 (S1) di sejumlah universitas di Taiwan masih ditelusuri. Hal ini terkuak setelah anggota dewan setempat membeberkan laporan dugaan eksploitasi kepada mahasiswa-mahasiswa luar negeri, termasuk dari Indonesia.

Lembaga Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) di Taiwan mengakui cukup banyak menerima pengaduan dan keluhan sejumlah mahasiswa yang mengikuti program kuliah-magang. Kebanyakan mereka mengeluh terkait penerapan jam praktik magang kerja yang melebihi batas.

Hal itu disampaikan Presiden PPI Taiwan, Sutarsis selepas laporan dugaan sekitar 300 mahasiswa RI menjadi korban dalam program kuliah-magang di negara sejumlah universitas negara tersebut.


Ratusan pelajar RI tersebut dikabarkan terdaftar kuliah di Universitas Hsing Wu di Distrik Linkou, Taipei, melalui pihak ketiga atau perantara sejak pertengahan Oktober 2018 lalu.

"Masalahnya yang terjadi adalah sebagian kasus terjadi kelebihan jam kerja magang, yang seharusnya maksimal 20 jam per pekan berdasarkan ketentuan Kementerian Ketenagakerjaan Taiwan, sehingga kadang proporsi kerja melebihi besar dari jam studi," ucap Sutarsis kepada CNNIndonesia.com pada Kamis (3/1).

"Kalau kerja paksa tidak sepenuhnya benar. Jadi mereka, mahasiswa S1 program kuliah-magang, memang dirancang kuliah sambil kerja," ujar Sutarsis.

Sutarsis menyatakan pihak universitas pasti mengetahui perihal kelebihan jam kerja ini. Pemerintah Taiwan, paparnya, juga seharusnya memanggil pihak kampus dan perusahaan yang terlibat jika terjadi penyimpangan aturan tersebut.

Selain masalah jam kerja, Sutarsis mengatakan sebagian mahasiswa dari Indonesia juga kerap mengeluhkan soal janji-janji perantara yang tidak sesuai dengan kenyataan. Salah satu contohnya adalah jurusan yang ada di universitas itu tidak sesuai dengan yang dijanjikan perantara.

Selain itu, Sutarsis memaparkan para pelajar program kuliah-magang juga kerap menghadapi kesulitan keuangan. Penyebabnya adalah gaji kerjanya baru dibayarkan setelah menyelesaikan satu semester (enam bulan) atau bahkan satu tahun saat menempuh pendidikan.

Padahal, para pelajar tersebut mengandalkan gaji magang untuk membiayai kuliah dan hidup mereka di Taiwan. Sebab, mahasiswa program kuliah magang tidak mendapat beasiswa.

Selain itu, dalam beberapa kasus, Sutarsis menemukan para mahasiswa dipekerjakan dalam hal yang tidak sesuai dengan ilmu yang digeluti. Di sisi lain, hak-hak mahasiswa juga kerap dipermainkan.

"Janji agen berbeda. Ada agen yang menjanjikan beasiswa di awal tapi ternyata tidak ada. Ada diberikan beasiswa satu tahun tapi ternyata hanya berjalan enam bulan dan nominalnya tidak sesuai," katanya.

"Selain itu, kadang ada potongan penghasilan yang besar bagi pelajar. Namun, ini sudah sempat ditangani Kemenaker Taiwan. Jadi kadang tidak ada perjanjian/kontrak antara agen dan mahasiswa sehingga siswa tidak tahu detail program yang akan dijalankan," ujarnya.

Sutarsis menuturkan kasus seperti ini tidak hanya terjadi pada mahasiswa Indonesia. Sebab, ada sekitar 69 universitas di Taiwan yang membuka program kuliah-magang atau (Industrial Academia Collaboration) ini.

Sutarsis menuturkan kampus-kampus tersebut memanfaatkan kebijakan New Southbond Policy (NSP) untuk merekrut mahasiswa-mahasiswa dari negara Asia Selatan, Asia Tenggara, hingga negara kepulauan di Pasifik.

"Ada sekitar enam universitas yang mengambil pasar mahasiswa dari Indonesia. Kasus seperti ratusan mahasiswa RI ini juga pernah dialami pelajar dari Vietnam. Pernah diberitakan juga," ujar Sutarsis.

Lebih lanjut, Sutarsis menuturkan dugaan penyimpangan program kuliah-magang memang paling banyak menyasar mahasiswa internasional S1 dari negara Asia. Penyebabnya karena sebagian besar dari mahasiswa menggunakan agen atau pihak perantara untuk masuk universitas.

"Beda dengan kami mahasiswa S2 atau S2. Biasanya kami mendaftar langsung ke universitas atau profesor yang ada di universitas itu. Sebagian universitas Taiwan juga datang ke universitas Indonesia untuk wawancara calon mahasiswanya," kata mahasiswa program S3 di National Central University itu. 

sumber: https://www.cnnindonesia.com/internasional/20190103104950-113-358146/mahasiswa-indonesia-ungkap-penyimpangan-kuliah-magang-taiwan
Share:

Recent Posts