Foto: Nurcholis Maarif/detikcom
Sebanyak 30 anak muda diajak untuk mengajak mengajar anak-anak di daerah pelosok Indonesia. Mereka mengikuti Pengajar Jelajah Nusa (PJN) 2019 yang diadakan oleh PT Ultrajaya Milk Industry dan bekerja sama dengan Indonesia Mengajar.
Salah seorang peserta PJN bernama Firman menceritakan pengalamannya selama mengikuti program tersebut. Ia mengatakan harus menempuh medan yang sulit untuk sampai ke lokasi tujuan di Paser, Kalimantan Timur. Ia dan rekan-rekannya harus menggunakan kapal speed selama dua jam, dilanjutkan naik mobil melewati jalan yang dikelilingi kebun kelapa sawit, dan menyeberang lagi untuk sampai ke tujuan.
"Desa itu terapung. Kita sampai pas Magrib. Begitu melihat warga desa menyambut, anak-anak, barang-barang dibawain, dijamu, sangat menyentuh dan rasa capek jadi hilang," ucap Firman kepada detikcom, Jumat (5/7/2019).
Firman mengatakan di desa tempatnya tinggal sedang krisis air bersih dan masyarakat setempat mengandalkan air tadah hujan. Namun, masyarakat setempat ternyata sudah menyediakan air bersih untuk mandi dan keperluan para peserta PJN yang akan tinggal di sana.
"Notabene anak nelayan. Saat mengajar dengan model ceramah, mereka langsung bosan. Kita jadi belajar harus lebih melibatkan mereka. Akhirnya kita bikin kelas inspirasi untuk anak SD," ujar Firman.
Di kelas inspirasi itu, anak-anak lebih aktif dalam menggambar maupun menceritakan apa yang mereka gambar. Firman dan rekan-rekannya dibantu Bernhand Suryaningrat juga membuat proyek mengecat dua sekolahan yang ada di Paser.
Lanjut Firman, anak-anak di desa tempatnya mengajar harus menyeberang pulau untuk sekolah. Kendala lainnya adalah izin dari orang tua mereka yang terkadang tidak memperbolehkan mereka untuk bersekolah.
"Kita buat jaringan berikan informasi dan akses beasiswa dan berbagai program untuk mereka. Saya juga ingin menyampaikan ke akademik maupun kawan-kawan di kampus dan membagikan cerita ini ke anak-anak di kelas inspirasi di Bandung," ujar Firman yang juga mahasiswa ITB.
Lain lagi dengan Adati yang bertugas di Musi Banyuasin, Sumatera Selatan. Ia mengikuti PJN 2019 untuk menantang dirinya sendiri. Sebelumnya ia pernah ikut mengajar di komunitas anak jalanan yang memiliki keterbatasan ekonomi di Bintaro.
Namun, saat ia sampai di lokasi tujuannya di Desa Karang Agung, Musi Banyuasin, ia melihat daerahnya bukan hanya terbatas dalam ekonomi, tetapi juga kultur, akses, bahkan pengajar.
Adati juga harus beradaptasi dengan kondisi masyarakat di sana yang cenderung tertutup.
"Kita harus bisa mencari situasi, sampai akhirnya luluh. Sebelumnya masyarakat kalau disapa cuek. Untungnya saya punya tim yang super kompak," ucap Adati.
Sama seperti Firman, Safari yang mengajar di Halmhera Selatan, juga harus melewati perjalanan dan medan yang sulit untuk sampai lokasi. Mulai dari transit di beberapa bandara hingga berganti kendaraan.
"Masyarakat Halmahera jarang didatangi makanya mereka antusias menerima kami meskipun dalam keadaan gelap penerangannya. Dan itu menorehkan kenangan berharga buat kami," ucap Safari.
Bagi Safari, hikmah yang mendalam dari mengikuti PJN 2019 ialah suntikan semangat etos di pendidikan. Menurutnya, rata-rata rumah di desa tempatnya tinggal sangat sederhana tetapi masyarakatnya sangat peduli dengan pendidikan.
"Saat diskusi dengan masyarakat, mereka mengatakan biarlah rumah sederhana tapi perkara pendidikan harus istimewa," ucap Safari.
Menurut Safari, PJN 2019 bisa jadi inspirasi buat peserta di daerahnya masing-masing. Ia mengatakan akan membuat program yang sama di daerah asalnya, Kalimantan Tengah.
"Balik Kalteng aku akan bikin Kalteng Jemput Mimpi kaya PJN, mengumpulkan mahasiswa terpilih untuk terjun ke desa-desa," ucap Safari.
sumber: https://news.detik.com/berita/d-4613222/cerita-pengajar-muda-susahnya-jadi-guru-di-daerah-terpencil